Beberapa waktu lalu di kampus UIN Sultanah Nahrasiyah saya bermaksud menghimpun berbagai data yang memungkinkan usaha penelitian tentang eksistensi Zawiyah Blang Peuria yang merupakan lembaga pendidikan agama Islam terbesar di Asia Tenggara yang memiliki peran besar dalam melahirkan ulama intelektual pada masa Kesultanan Samudra Pasai. Di antara ulama intelektual yang dilahirkan Zawiyah Blang Peuria adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Syarif Hidayatullah, Hasan Fansuri, Maulana Ishaq, Saiful Rijal, Syaikh Abdurrauf al-Singkili, dan banyak ulama intelektual lainnya (Miswari, 2024). Sayangnya, kajian mengenai lembaga pendidikan besar tersebut seperti tenggelam dalam sejarah.
Berbincang dengan salah seorang pengajar bidang sosial UIN Sultanah Nahrasiyah, menjelaskan bahwa terdapat banyak versi penulisan nama tokoh perempuan yang namanya diabadikan sebagai nama kampus Islam tersebut. Banyak literatur menulis namanya dengan Sultanah Nahrisyah. Namun sebenarnya, sesuai dengan pahatan pada nisan yang terletak di kecamatan Samudera, kabupaten Aceh Utara, pada nisan tokoh dimaksud tertulis Malikah Nahrasiyah, bukan Nahrisyah. Kepastian itu menurut dosen tersebut telah divalidasi oleh seorang epigraf terkemuka di Aceh. Adapun makam Sultanah Nahrasiyah merupakan nisan terbaik dan paling indah di antara nisan-nisan lain peninggalan Kesultanan Samudra Pasai. Beliau menjadi penguasa Kesultanan Samudra Pasai mulai 1406 hingga 1428 Masehi. Meskipun pada nisannya tertulis ‘malikah’ bukan ‘sultanah’, banyak peneliti tetap menyebut tokoh tersebut dengan sebutan ‘sultanah’, antara lain karena bentuk pemerintahan Samudra Pasai itu adalah sistem kesultanan, bukan kerajaan. Kampus Islam di Lhokseumawe juga mengabadikan nama tokoh perempuan penanda kemajuan Samudra Pasai itu dengan Sultanah Nahrasiyah.
Pada masa kepemimpinan Sultanah Nahrasiyah, terjadi pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di Samudra Pasai. Kekuasaannya meluas hingga menjangkau negeri-negeri kecil di pedalaman Pasai. Selain menguasai jalur pelayaran laut Selat Malaka, meningkatnya perekonomian Kesultanan Samudra Pasai pada masa kekuasaan Sultanah Nahrasiyah juga terjadi karena kemampuannya dalam mengoptimalisasi sungai sebagai jalur lalu lintas untuk mengangkut berbagai hasil bumi di pedalaman pulau Sumatra yang kaya dan juga mendistribusikan berbagai barang yang diimpor dari berbagai penjuru negeri. Kuat dugaan, itulah penyebab kenapa tokoh perempuan perkasa ini sering disebut “nahri-syah” dalam banyak literatur. Yang mana ‘nahri’ artinya sungai dan ‘syah’ artinya penguasa. Secara filosofis, lakap tersebut juga bermakna kemampuan Sultanah Nahrasiyah dalam mengoptimalisasi berbagai potensi yang dimiliki negeri-negeri yang berada di bawah Kesultanan Samudra Pasai. Akar kata ini pula yang membuat banyak penulis lebih suka menyebut pemimpin perempuan itu dengan Sultanah Nahrisyah.
Warisan penting dari Sultanah Nahrasiyah adalah kepiawaiannya dalam mengatur sistem ekonomi yang stabil dengan menerapkan berbagai kebijakan tertulis terhadap tata kelola perdagangan. Sistem perekonomian yang termanajemen dengan baik tersebut membuat kesejahteraan Samudra Pasai terus meningkat. Manajemen perekonomian itu pula yang mengilhami pengelolaan sistem perpolitikan (tata negara) Kesultanan Samudra Pasai secara sistematis. Sistem manajemen pemerintahan Kesultanan Samudra Pasai menginspirasi Kerajaan Malaka untuk menyusun tata kelola pemerintahan yang lebih sistematis, sehingga kemudian Kesultanan Malaka menjadi salah satu kekuasaan di Asia Tenggara yang mula-mula memiliki manajemen administrasi dan tata kelola pemerintahan yang stabil (Muallif, 2022).
Pengaruh Kesultanan Samudra Pasai terhadap Malaka pada masa kekuasaan Sultanah Nahrasiyah selain pada bidang administrasi pemerintahan, juga pada bidang agama dan ilmu pengetahuan. Raja Malaka waktu itu, Parameswara, memohon kepada Sultanah Nahrasiyah agar dapat diberikan bagian pengelolaan pelayaran kapal-kapal dagang Selat Malaka yang waktu itu dikuasai kesultanan Samudra Pasai. Sultanah Nahrasiyah mengabulkan permohonan tersebut dengan syarat Raja Malaka beserta para petinggi kerajaan masuk Islam. Syarat itu disanggupi Raja Malaka sehingga dia, para petinggi kerajaan, dan banyak rakyatnya masuk Islam. Parameswara sendiri bahkan mengganti sistem kekuasaannya menjadi kesultanan dan dia sendiri menjadi sultan dengan gelar Sultan Iskandar Syah (1400-1414 M) pada Kesultanan Malaka. Kesultanan itu juga menyempurnakan sistem tata kelola dan administrasi pemerintahannya berdasarkan sistem pemerintahan dari Kesultanan Samudra Pasai.
Pada bidang agama, kesultanan Samudra Pasai terus mengirimkan ulama dan cendikiawan untuk mengajarkan agama, sistem politik, dan perekonomian ke Kesultanan Malaka. Di antara ulama yang berperan besar dalam Islamisasi Malaka adalah maulana Ishaq yang berasal dari Samudra Pasai. Terkemudian, ulama-ulama Malaka terus mendapatkan bimbingan ilmu pengetahuan dari ulama Pasai yang berpusat di Zawiyah Blang Peuria. Kedalaman ilmu ulama-ulama Zawiyah Blang Peuria sangat mumpuni. Bahkan persoalan-persoalan sulit dalam metafisika Islam seperti kajian ‘ayan tsabitah yang ditanyakan ulama Malaka kepada ulama Pasai diberikan keterangan yang memuaskan (Alfian, 1999). Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada Kesultanan Samudra Pasai tidak lepas dari kejeniusan, karisma, dan pengaruh besar yang dimiliki oleh Sultanah Nahrasiyah. []
*Penulis merupakan Pengajar Sejarah dan Filsafat pada Pascasarjana IAIN Langsa