Saya mendapatkan kesempatan membaca sebuah artikel yang telah ditulis Direktur Pascasarjana IAIN Langsa, Dr. Zulkarnaini MA. Artikel tersebut membahas tentang tinjauan ulang atas lisensi pemukulan istri dalam Al-Qur’an. Kajian atas Surat An-Nisa’ 34 itu ingin mempertanyakan kembali makna ‘wadhribuhunna’ atau kata dasar dharaba yang biasanya diterjemahkan sebagai lisensi Al-Qur’an atau lisensi Islam untuk memukul istri.
Sebenarnya saya tidak pantas dijadikan teman untuk mendiskusikan artikel beliau tersebut. Saya tidak punya kepakaran ilmu tafsir. Namun, setelah mempelajari artikel itu secara lebih mendalam, saya menemukan pembahasan menarik di dalamnya yang membuat adrenalin ilmu filsafat pemikiran Islam dalam diri saya terpicu. Rupanya artikel itu menggugat makna kata dharaba sebagai pemukulan dan menawarkan alternatif multidisipliner. Pendekatan kajiannya menggunakan hermeneutika. Dalam perspektif tafsir sendiri, di samping banyak tafsir lainnya, Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab digunakan untuk memaknai ulang kata dharaba. Quraish Shihab sendiri mengatakan bahwa asal kata dharaba bukan memukul tetapi semacam memberikan penegasan secara simbolik kepada istri yang telah melakukan nusyuz, yakni mengabaikan perannya sebagai istri. Dalam dimensi tasawuf, artikel itu menjelaskan bahwa dharaba, berarti dimensi maskulinitas perlu sedikit lebih ditekankan kepada dimensi feminimitas. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan. Dengan revolusi makna wadhribuhunna itu, terbuka peluang kepada Islam untuk diterima sebagai salah satu landasan nilai dalam membentuk masa depan dunia global yang serba baru, khususnya kebaruan dalam bidang kemanusiaan, informasi, dan teknologi.
Baiklah, artikel itu memang cukup bagus dan terbilang revolusioner. Namun, saya berpikir, bukankah tawaran-tawaran semacam itu sudah familier, karena diskursus yang hendak mengajukan Islam sebagai alternatif merupakan pewacanaan era Orde Baru? Agar Islam tidak tersingkir dari agenda pembangunan! Tetapi saya merasa tidak enak mempertanyakan itu kepada penulis artikel tersebut.
Beberapa waktu kemudian, saya buka Facebook dan menemukan di akun Muh. Taufik Al Jogjawi postingan terbitan terbaru Jurnal Prisma. Kita tahu jurnal itu ditulis oleh para pakar dari banyak keilmuan, termasuk pemikiran Islam. Edisi terbaru itu menerbitkan tajuk: Islam dalam Perubahan Global: Menentang atau Mengikuti Arus? Terus terang saya terkejut dengan tema itu. Baik-baik saya perhatikan edisinya. Ternyata memang edisi terbaru. Kenapa tema yang terkesan sudah lama mengenai pemikiran Islam, diangkat kembali. Seketika saya teringat kembali dengan artikel Pak Direktur Pascasarjana IAIN Langsa. Beliau coba memaknai ulang arti dari wadhribuhunna sebagai cara membuat citra Islam menjadi semakin baik di mata dunia, sehingga nilai-nilai Islam dapat dipertimbangkan dalam humanisme global.
Beberapa hari kemudian, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) mengundang Bapak Husein Heriyanto sebagai pembicara pada kursus Kader Pemikiran Islam Indonesia (KPII). Pak Husein diminta menyampaikan tema: Masa Depan Pemikiran Islam. Tajuk terbaru Jurnal Prisma, tema KPII, dan sekian hal lainnya, membuat saya menyimpulkan bahwa wacana pemikiran Islam sudah waktunya diangkat kembali sebagai tawaran bagi kehidupan manusia era kontemporer. Menurut saya, dalam hal ini, artikel Pak Direktur Pascasarjana IAIN Langsa menjadi sangat signifikan, apalagi pendekatannya melibatkan hermeneutika dan diajukan sebagai tawaran baru dalam wacana pemikiran Islam.
Nilai-nilai Islam sebagai bagian dari nilai universal yang kontributif bagi humanisme global bukanlah angan-angan atau isapan jempol belaka. Peluang ini melebihi dari andil yang telah dilakukan modernis pada era Orde Baru. Kontribusi nilai moral Islam sebagai bagian dari basis nilai humanisme global semakin terbuka peluangnya setelah pada G-20 di Bali yang tidak hanya menjadi forum perbincangan ekonomi dan politik negara-negara berpengaruh di dunia, tetapi juga, sebagaimana dikatakan oleh Pak Husein Heriyanto, juga dijadikan momentum forum R-20. Pada R-20, dua puluh tokoh agama dari mancanegara membincangkan nilai-nilai agama yang dapat berkontribusi dalam rangka memajukan sosial, ekonomi, politik dalam humanisme global.
Gelaran R-20 memberikan kesempatan besar kepada Islam untuk memberikan kontribusi kepada humanisme global. Lebih spesifik, peluang kontribusi Islam Indonesia bagi kemanusiaan masa kini dan akan datang menjadi sangat diperlukan. Dunia tahu bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang unik, antara lain karena kemampuannya berintegrasi dalam ragam kebudayaan dan ragam sistem modern termasuk demokrasi. Hal ini menjadi sangat sulit bagi negara-negara muslim lain, khususnya di Timur Tengah.
Kemampuan Islam Indonesia dalam membangun integrasinya dengan demokrasi membuat warga dunia tercengang. Kumar Ramakrishna mengatakan, hanya di Indonesia, Islam dan demokrasi dapat berjalan seiring. Hillary Clinton pernah berujar, bila ingin melihat Islam harmoni dengan demokrasi, maka lihatlah Indonesia. Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, pulang dari G-20 Bali menyampaikan kekagumannya pada Islam Indonesia. Hanya di Indonesia, dunia dapat melihat Islam yang betul-betul mampu dipahami secara kreatif dan inklusif. Saya melihat tayangan Sunak di hadapan anggota parlemen dengan sangat bersemangat menceritakan kekagumannya pada Islam Indonesia.
Kekaguman tersebut cukup wajar. Mengingat, Islam Indonesia adalah agama yang disebarkan melalui jalur damai. Itu telah dimulai sejak Nakhoda Khalifah lempar sauh di Bandar Peureulak. Kemudian, lihatlah bagaimana penyebar Islam di Pulau Jawa dengan sangat khidmat mampu mengharmoniskan budaya lokal dengan ajaran Islam. Kemampuan ini sebenarnya perlu dipelajari ulama dunia. Maka dalam hal ini, signifikansi Islam Nusantara tidak hanya untuk masa depan Indonesia, melainkan untuk masa depan dunia. Pemikir Islam Indonesia perlu terus meningkatkan kreativitasnya dalam melahirkan ide kreatif mengenai ragam dimensi Islam sebagai kontribusi bagi humanisme global.
Pemikir Islam Indonesia sangat beruntung berada pada lingkungan masyarakat yang kreatif dalam memahami agama, antara lain kemampuannya mengharmoniskan ragam budaya dengan agama dan kemampuan membangun inklusivitas beragama di tengah kemajemukan. Itu semua tidak lepas dari sikap kreatif pemikir Islam dalam menafsirkan agamanya.
Di tengah peluang Islam sebagai bagian landasan nilai humanisme global, pemikir Muslim perlu merawat cara pandang realistis dalam memahami agama. Dalam perubahan zaman ini, tentu saja Islam tidak lagi dilihat sebagai alternatif sebagaimana cara pandang pemikir Islam era Orde Baru. Misalnya mereka menawarkan bank Islam sebagai alternatif bank konvensional dan menawarkan hukum Islam sebagai alternatif hukum positif. Ide Islam sebagai alternatif pada masa Orde Baru memang terbilang cukup revolusioner, mengingat bila Islam atau apa pun yang mampu menawarkan alternatifnya seperti budaya lokal dan sebagainya, bila tidak mampu tampil menawarkan alternatif-alternatif, akan ditinggalkan oleh sekularisasi yang dibangun rezim Orde Baru yang fokus pada pembangunan sosial ekonomi.
Namun, pada masa kini, ketika alternatif-alternatif yang ditawarkan Islam, sebagaimana pada daerah tertentu, menjadi arus utama, ternyata yang hadir adalah isolasi dan pembentukan eksklusivitas masyarakat. Karena memang, Islam tidak akan dapat menjadi sistem. Islam tidak pernah menawarkan dirinya sebagai sistem, Islam bukan sistem, melainkan basis nilai. Islam bukan aspirasi, tetapi inspirasi. Dalam arus global hari ini, dalam sistem modern nation-state, setiap negara yang berusaha menjadikan Islam sebagai sistem, akan mengalami stagnasi. Setiap negara yang menjadikan Islam sebagai aspirasi, akan terisolasi dari arus global. Negara-negara muslim, yang memutuskan turut serta menyongsong kemajuan, telah meninggalkan formalisasi agama. Mereka mulai sadar bahwa agama adalah basis nilai, bukan kaidah sistem.
Dengan demikian, pilihan realistis agar Islam punya peran dalam kemajuan global, bukan menjadikan Islam sebagai alternatif dan bukan menjadikan Islam sebagai sistem, melainkan menawarkan kontribusi nilai dan inspirasi dalam ajaran Islam. Banyak nilai Islam yang dapat diajukan guna kontribusi dalam membangun humanisme global. Banyak pesan-pesan Islam yang dapat diajukan guna berpartisipasi bagi humanisme global.
Dalam rangka membangun Islam kontributif, yang perlu ditekankan bukan saja objektivikasi Islam sebagaimana ditawarkan Kuntowijoyo, melainkan juga revolusi pemahaman atas Islam. Caranya antara lain sebagaimana dilakukan Dr. Zulkarnaini, yakni melakukan revolusi tafsir. Pendekatan yang dilakukan antara lain seperti membedah makna esensial Al-Qur’an. Karena memang, hampir semua penafsiran Al-Qur’an yang tersedia, kental dengan ragam bias ruang dan waktu tertentu. Misalnya, banyak bekal pemahaman menafsirkan Al-Qur’an berbias patriarki sebagaimana terjadi dalam masyarakat tertentu.
Oleh sebab itu, dalam rangka membangun Islam kontributif dalam pembangunan humanisme global, Islam harus dikenal sebagai agama yang inklusif, moderat, toleran, dan menawarkan persaudaraan. Karena memang demikianlah Islam itu. Bila Islam masih dikenal oleh dunia sebagai agama yang dianut orang-orang yang intoleran, menjadi produsen radikalis, pembibitan teroris, tentu saja nilai-nilai Islam tidak akan dilirik menjadi bagian pembangunan humanisme global.
Padahal pilihan realistis bagi Islam dalam menyongsong zaman yang semakin berubah adalah Islam kontributif, yakni kemampuan menawarkan nilai-nilai Islam dalam pembangunan humanisme global. Pilihan ini berada di tangan intelektual Islam sendiri; Dengan prasyarat perbaikan citra Islam. Misalnya, bila penafsiran dharaba dalam Surat An-Nisa’ 34 sebagai pemukulan masih dipakai pada zaman sekarang, tentu Islam akan diklaim sebagai agama yang tidak sejalan dengan prinsip ekualitas gender dan diskriminatif terhadap perempuan. Sehingga banyak dimensi moralitas Islam yang sangat kaya menjadi sulit diterima sebagai bagian dari nilai humanisme global.
Kemarin saya menyaksikan tayangan mengenai perkembangan pembangunan jalan tol yang menghubungkan Medan dan Langsa. Dosen sebuah kampus umum di Medan diminta pendapatnya mengenai proyek tersebut. Dosen itu menjelaskan dengan baik mengenai kendala-kendala yang sedang dan akan terjadi dan menawarkan solusinya. Saya hampir yakin, mengenai dampak ekonomi masyarakat terhadap pembangunan tol Medan-Langsa, yang akan diminta pendapat dan solusi perlu ditempuh adalah dosen kampus umum. Dalam menyongsong kemajuan sains, teknologi, dan sosial, telah tersedia sangat banyak pakar pada setiap unit bidang. Dalam hal ini, secara kritis dan realistis, dimanakah peran Islam? Pentingkah ia? Dengan demikian, sekali lagi, padahal, peran paling realistis yang dapat diberikan Islam⸺baik melalui kampus, organisasi kemasyarakatan, dan individu intelektual Islam⸺kepada dunia yang semakin menuju kemajuan, adalah menawarkan nila-nilai moral yang dikandung, karena dapat menjadi bagian dari pembangunan nilai dalam humanisme global.
* Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Langsa