Lhoksukon | Info Aceh Utara – Benturan kayu dengan kayu karena pukulan ringan dari tangan renta Muhammad Isa Daud menghasilkan nada yang mampu memanjakan telinga, pria 75 tahun itu begitu menikmati harmoni dari empat bilah kayu yang disusun berjejer di atas penyangga kayu dan ditabuh dengan alat berbentuk seperti stik drum, namun ukurannya agak lebih lebar.
“Ini namanya Canang Ceureukeh, dulu kami memainkan Canang ini, saat menjaga sawah dari hama burung saat padi berbuah, dan setelah panen kembali di mainan untuk meluapkan kegembiraan atas rezeki yang diperoleh,” ungkap pria yang akrab disapa Utoh Amad ini, saat ditemui di kediaman beliau, Gampong Paya Teungoh Dusun Keuramat Kecamatan Simpang Keuramat, Aceh Utara.
Utoh Amad menjelaskan, ada empat irama yang dimainkan tadi, ia menyebutnya tingkah atau pola dalam bahasa Indonesia, masing-masing bilah memiliki nama tersendiri yang diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Bilah pertama disebut aneuk (anak), bilah kedua disebut rempah, bilah ketiga Chup-chup dan bilah terakhir disebut rempah.
Di usianya yang telah senja Utoh Amad masih setia melestarikan alat musik tradisional Aceh ini, selain membuat Canang Ceureukeh ia juga mengajarkan cara memainkannya walaupun tak banyak yang berminat terutama kalangan generasi muda Aceh tapi paling tidak anaknya yang berusia 11 tahun sudah mewarisi kepiawaiannya memainkan alat ini.
Utoh Amad menuturkan bahwa keberadaan Canang Ceureukeuh sekarang tidak banyak tidak diketahui oleh generasi sekarang, apalagi memainkan alat musik ini. Konflik berkepanjangan di Aceh menjadi salah satu penyebab hilangnya Canang dari panggung seni Aceh.
“Di masa konflik para seniman dan masyarakat tak sempat berkreasi, yang dipikirkan hanya menyelamatkan diri dan keluarga, akibatnya Canang mulai hilang dari masyarakat, makanya pada event Festival Aceh International Percussion tahun 2019 di Aceh Jeumpa Bireuen, banyak pengunjung yang bertanya-tanya tentang alat musik ini,” ungkap Utoh Ahmad
Ditambah dengan pandemi covid-19 yang membatasi gerak masyarakat khususnya seniman, keberadaan Canang Ceurekeh ini semakin terancam punah. Selain tak ada lagi pesta rakyat usai panen, tak ada juga panggung kreasi untuk menampilkan warisan budaya Canang Ceureukeh.
Utoh Amad menyorot rendahnya minat generasi muda Aceh untuk menikmati budaya warisan indatunya karena imbas budaya pop, bisa jadi suatu saat generasi Aceh hanya mewarisi kata-kata “gadoh peih Canang bak keude kupi” tanpa tahu seperti apa bentuk Canang yang disebutnya.