Ingin ku ceritakan secuil kisah tentang rumah toko (Ruko) sederhana ini. Sekiranya tahun 2000-an di lantai 2 rumah Ruko ini dipenuhi dengan tas ransel, sepatu PDL militer, baret dan lain sebagainya peralatan tempur.
Iya, di sini tempat pengambilan alat tempur setelah pasukan yang baru bergabung dan baru pulang dari pelatihan. Kalau tidak salah saya dari Matang Sijuek kala itu. Matang Sijuek, sebuah kemukiman yang berada di Kecamatan Baktiya Barat, Aceh Utara. Desa yang termasuk zona merah dalam konflik Aceh.
Disinilah mereka, para kombatan mengambil peralatan dan perlengkapan tempur layaknya setiap prajurit kesatuan militer.
Di Ruko ini juga kerap diadakan makan bersama. Artinya siapa saja yang lapar, silahkan buka tutup saji sendiri dan makan apa saja yang tersedia di bawahnya. Ibu saya yang menjadi kokinya. Artinya mereka makan “bu mak lon taguen” (makan nasi yang dimasak ibu saya).
Siapapun itu, asalkan pasukan, ada yang dari luar Kecamatan Lapang.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, kondisi pun semakin mencekam. Sudah tak bisa lagi berkumpul berkerumunan seperti biasanya.
Hingga pada suatu hari, rumah saya yang berdampingan dengan Sekolah Dasar (SD) didatangi pasukan militer RI, dari satuan Marinir pada saat itu.
Mereka datang menjelang Subuh, sekira pukul 03.00 WIB. Dan menduduki di bangunan SD tersebut.
Paginya kami terkejut melihat puluhan pasukan militer RI sudah memenuhi halaman sekolah itu.
Kemudian, kami panik, karena ayah saya (Almarhum) sedang berada di rumah kala itu. Bersembunyilah ia di dalam kamar. Kamar yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Dengan menggunakan triplek double didalamnya seolah-olah seperti dinding. Apabila waktu makan selalu diantar nasi.
Berjalan waktu sekitar 3 hari. Kemudian, pasukan Marinir itu angkat kaki ke lokasi yang lainnya.
Kondisi sudah aman. Barulah ayah saya bisa keluar dan lari ke “Lampoh U” (kebun kelapa) di pinggir laut yang jauhnya sekitar 2 kilometer dari rumah.
Kemudian, lama kelamaan pasukan GAM yang tadinya sering dirumah. Mereka berpindah ke Lampoh U pinggir laut itu. Membuat camp dan mereka tinggal di situ.
Dipinggir laut itu sudah tersedia boat double mesin. Mesin 40 kala itu.
Beberapa waktu kemudian. Datang lagi pasukan militer RI. Mereka tinggal di Puskesmas Kecamatan Lapang. Mereka membuat pos dan menetap di situ.
Kemudian, pagi harinya. Saya yang saat itu masih kecil mengayuh sepeda mengantar kopi untuk para pasukan yang sudah menetap di kebun kelapa tadi.
Sesekali saya monitor pakai HT (Handy Talky). Kala itu saya dijuluki dengan nama “Campli Jeura” (cabai rawit). Mungkin karena cabai rawit itu kecil tetapi amat pedas.
Kala itu saya sering kontek-kontek dengan Abah Kaca (Almarhum), Aneuk Kober. Dan masih banyak lainnya. Saya sudah lupa namanya. Ada juga beberapa yang sudah almarhum di medan peperangan.
Karena saya masih kecil pada saat itu, makanya saya lupa. Lupa namanya tetapi tidak lupa dengan orangnya. Artinya ada dari mereka yang sudah meninggal di medan tempur. Ada yang masih hidup. Tetapi nasib nya masih seperti pada saat Aceh dilanda konflik. Dan ada yang sudah berada di atas langit menembus awan. Artinya bernasib bagus.
Pasca damai Aceh Tahun 2005 silam. Ruko itu sudah tak seramai dahulu lagi. Semua telah pergi untuk memulai hidupnya masing-masing.
Tahun 2015 Ruko itu sudah kosong. Karena konstruksinya sudah tua dan tidak layak lagi untuk ditempati. Kami sudah pindah sekira 200 meter dari Ruko itu.
Jika ada yang berkeinginan untuk silaturahmi silahkan saja. Pintu rumah masih terbuka lebar seperti dahulu..
Bersambung…
Cerita nya masih panjang.
Akan diuraikan di lain waktu
Kepada yang sudah tiada. Kita doakan semoga diberikan keluasan kubur oleh Allah.. Al Fatihah..
Kepada yang masih hidup kita doakan supaya hidupnya diberkahi Allah.
Kepada yang sudah di atas awan juga kita harapkan supaya tidak lupa dengan kawannya yang masih di bawah.
Semoga Aceh tetap Aman. Damai tenteram dalam bingkai NKRI.
“Aceh bek le karu, meurasa tapajòh bu, adak pih deungòn sira”
(Aceh jangan ribut lagi, nasi terasa nikmat dimakan, walaupun dengan garam)
*Penulis adalah “Aneuk awak GAM, kòn awak GAM”