Lhokseumawe | Info Aceh Utara – Aktivis yang tergabung dalam lembaga Aktivis Milenial Aceh menolak Penjabat (Pj) Gubernur Aceh dari kalangan militer. Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers yang di gelar di salah satu Cafe di Lhokseumawe pada Kamis, 30 Juni 2022.
Aktivis Milenial Aceh merupakan lembaga civil society yang bergerak dalam kajian-kajian Publik. Komunitas ini acapkali mengkritisi kebijakan publik yang tidak menyentuh terhadap problem kerakyatan.
Pada konferensi pers yang mengangkat tema “Pase Gemuruh Menolak Penjabat Gubernur Aceh Dari Kalangan Militer” tersebut komunitas aktivis menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh terkait penunjukan Pj Gubernur Aceh.
Direktur Aktivis Milenial Aceh, Fakhrurrazi, M.AP mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengeluarkan rekomendasi tiga nama Pj Gubernur Aceh, yang diusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri.
“Dari ketiga nama tersebut satu diantaranya berasal dari kalangan Militer,” sebut Fakhrurrazi.
Menurut Fakhrurrazi, rekomendasi tersebut tentu mendapatkan reaksi dari masyarakat Aceh. Ketidaksediaan masyarakat Aceh jika Pj Gubernur kedepan ditetapkan dari kalangan Militer.
“Jika hal ini terus dipaksakan maka dapat menimbulkan masalah baru bagi Aceh. Perdamaian Aceh adalah hal yang lebih penting daripada penunjukkan tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fakhrurrazi menyampaikan bahwa masyarakat Aceh saat ini hanya ingin hidup damai. Maka dari itu Pj Gubernur Aceh harus mampu menjaga keseimbangan dan memelihara perdamaian dengan baik. Tentu orang yang akan ditetapkan nanti yang menjadi Pj Gubernur benar-benar sosok yang mengerti soal Aceh, yang mengerti situasi Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya masyarakat Aceh.
“Observasi kami dari berbagai sumber masyarakat Aceh kini menginginkan sosok yang akan menjadi yang menjadi Pj Gubernur Aceh harus dari kalangan Akademisi,” lanjutnya.
Sebagai konsekuensi logis, Aktivis Milenial Aceh merekomendasikan sosok yang mengerti Aceh, bukan hanya menjaga stabilitas politik di Aceh, akan tetapi orang yang mampu membangun disemua sektor publik dan hal itu berasal dari kalangan Akademisi atau kampus.
Oleh karena itu pihaknya menyatakan sikap dalam empat poin sebagai berikut:
- Kami menolak Penjabat Gubernur Aceh dari kalangan Militer. Sekalipun sebenarnya sudah tertutup kemungkinan dari kalangan militer TNI/Polri aktif untuk menjadi Pj berdasarkan Putusan Pemerintah dan MK.
- Kami meminta kepada bapak Presiden Republik Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri agar menetapkan Penjabat Gubernur Aceh dari Kalangan Akademisi atau kampus.
- Jika memilih dari kalangan militer termasuk yang telah pensiun, masih mengibaratkan Aceh belum cukup kondusif. Padahal 2,5 tahun depan adalah waktu yang panjang dan bukan hanya mempersiapkan keamanan pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
- Kami memerlukan kepemimpinan sipil yang dekat dengan ide-ide perubahan dan demokrasi, untuk menjalankan program pembangunan dan kesejahteraan.
Sementara itu, Akademisi Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, saat ditanyai pandangannya terhadap isu penolakan terhadap Penjabat Gubernur Aceh dari kalangan militer menyampaikan pandangannya.
“Sikap mereka sebagai komunitas rasional harus dilihat secara sungguh-sungguh, bahwa yang diperlukan Aceh adalah figur yang bisa menjalankan peran pembangunan dan membangkitkan partisipasi publik dalam memajukan Aceh,” urainya.
Menurut Kemal, penunjukan figur militer berarti gagal menangkap situasi kebatinan Aceh yang mulai berubah, dari perasaan post-conflict kepada peace-building.
“Gak laku lagi pendekatan lama ala Darurat Militer dilakukan. Apakah Aceh kekurangan figur daerah untuk menjalankan peran administratif dan manajerial sehingga harus impor sosok dari luar?,” ungkap alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.