Banda Aceh | Infoaacehutara.com – Wilayah Indonesia rawan terhadap gempa bumi, baik dari jalur subduksi maupun sesar yang ada di daratan. Penataan ruang pada daerah rawan gempa sangat berperan penting.
Sebab bukan gempa yang menyebabkan korban, tetapi kualitas bangunan yang menyebabkan korban jiwa.
Hal tersebut diungkap Kepala Seksi Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Hazli, pada edisi ketujuh Smong Box di Museum Tsunami dengan tema “Karakteristik Gempa dan Tsunami”.
“Untuk diketahui, antara tahun 1629 sampai 2014 terdapat 173 kejadian tsunami besar dan kecil di tanah air,” sebut Hazli di hadapan pelajar dan guru SMA Kartika XIV-1 pada Jumat, 19 Agustus 2022.
Hazli juga menerangkan, jejak tsunami di Aceh sejak 7500 tahun silam masih terlihat di Gua Ek Leuntie di Desa Pasie Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Jejak tersebut berupa lapisan sedimen membuktikan tsunami di Aceh merupakan peristiwa alam yang terjadi berulang-ulang. Terungkap, ternyata Aceh sudah pernah dilanda bencana tsunami sebanyak 14 kali.
“Mengapa hari ini museum tsunami perlu mengadakan kegiatan Smong Box ini? Karena gempa bumi dan tsunami akan berulang,” sambung Hazli.
Dengan pembelajaran yang diterima hari ini para guru dan para pelajar bisa paham dan tahu bagaimana cara menanggulanginya.
Lanjut Hazli, Di Aceh terdapat beberapa patahan, yaitu Sesar Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren.
Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Daerah yang berada di sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor.
“Pendidikan kebencanaan menjadi penting, bahwa ilmu kebencanaan perlu diregenerasikan sedari dini. Supaya jika terjadi bencana hanya sebuah ancaman tidak ada lagi korban,” tutup Hazli.