Di zaman sekarang, semua serba cepat, serba digital, dan serba instan. Banyak dari kita—terutama generasi muda—mulai menjauh dari hal-hal yang dianggap “kuno”, termasuk tradisi adat. Tetapi coba kita lihat lebih dekat, ada satu tradisi di Aceh yang kelihatannya kecil, tetapi punya makna luar biasa besar: peusijuek.
Peusijuek itu bukan sekadar dipercik air bunga dan ditaburi beras. Bagi masyarakat Aceh, ini adalah bentuk doa, restu, dan harapan baik dari keluarga dan lingkungan sekitar. Biasanya dilakukan pas nikah, naik jabatan, pindah rumah, bahkan sebelum berangkat haji. Intinya, peusijuek hadir di momen-momen penting dalam hidup seseorang.
Yang bikin istimewa, tradisi ini bukan cuma simbolis. Rasanya beda saat kita diberi peusijuek oleh orang tua, tetangga, atau tokoh adat. Ada rasa didukung, diberkahi, dan enggak sendiri dalam menjalani hidup. Di situlah kekuatan peusijuek: memperkuat rasa kebersamaan dan kekeluargaan dalam masyarakat Aceh.
Tetapi, makin ke sini, peusijuek mulai dianggap remeh. Banyak yang bilang “ah, itu cuma formalitas” atau “enggak penting-penting amat”. Padahal kalau dipikir-pikir, tradisi ini adalah bagian dari identitas kita sebagai orang Aceh. Peusijuek itu bukan soal ketinggalan zaman—justru ini salah satu warisan budaya yang menunjukkan nilai-nilai luhur: rasa syukur, pentingnya doa, dan dukungan sosial.
Kita kadang terlalu sibuk ingin terlihat modern sampai lupa bahwa jadi modern bukan berarti harus melepaskan akar budaya. Justru, budaya kayak peusijuek bisa jadi pembeda yang bikin Aceh punya ciri khas tersendiri. Apalagi, tradisi ini bisa dikemas dengan cara yang lebih simpel, tetapi tetap bermakna.
Nggak harus pakai acara besar-besaran. Cukup kumpul keluarga, percikan air, doa bersama—itu udah cukup buat jadi momen yang menguatkan. Yang penting bukan seremoni mewahnya, tetapi niat dan nilai di baliknya.
Jadi, ayo kita jaga dan lestarikan peusijuek. Biar generasi setelah kita enggak cuma tahu tradisi ini dari buku sejarah atau foto-foto lama. Karena di balik percikan air bunga itu, ada makna mendalam yang layak terus hidup di tengah masyarakat Aceh—sekarang dan nanti. []
*Penulis merupakan mahasiswi S1 Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Serambi Mekkah