Lhoksukon | Infoacehutara.com — Islamic Relief Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara menggelar kegiatan Sosialisasi Pemenuhan Hak, dan Perlindungan Anak dan Perempuan di kompleks kantor Camat Cot Girek, pedalaman Aceh Utara, pada Rabu, 23 Oktober 2024.
Kegiatan bertajuk “Perempuan Berdaya, Anak Terlindungi, Aceh Utara Mulia” tersebut bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) dan Hari Perempuan Pedesaan Internasional tahun 2024. HSN ke-10 yang diperingati pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya dan Hari Perempuan Pedesaan Internasional ke-17 yang diperingati setiap 15 Oktober.
Acara tersebut diikuti oleh sekitar 350 peserta anak dan dewasa yang terdiri dari perwakilan instansi pemerintah terkait, Kepolisian dan Aparat Penegak Hukum (APH), lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi, Sekolah, Dayah, Pesantren), swasta dan filantropi, jaringan media, Forum Anak serta organisasi kepemudaan.
Area Coordinator Islamic Relief Indonesia Perwakilan Aceh, Yusrizal Puteh, mengatakan kegiatan sosialisasi itu dilatarbelakangi oleh berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang memiliki dampak yang luar biasa dan merugikan.
“Jutaan anak rentan terhadap kekerasan, pelecehan, penelantaran dan eksploitasi,” ungkapnya kepada Info Aceh Utara, Rabu, 23 Oktober 2024.
Padahal Pemerintah Indonesia telah menetapkan undang-undang dan kebijakan untuk melindungi anak-anak dan perempuan dari pelecehan dan penelantaran, termasuk Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2017-2021.
Kemudian, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Pemerintah juga telah membentuk Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk mengoordinasikan upaya-upaya perlindungan perempuan dan anak.
“Aceh menjadi wilayah kerja Islamic Relief Indonesia sejak tahun 2004 melalui program respons cepat bencana gempa dan Tsunami di Aceh. Merespons kerentanan situasi perempuan dan anak, Islamic Relief Indonesia menetapkan Keadilan Gender Islam sebagai sektor lintas sektoral diantara delapan sektor yang menjadi fokus kerja dalam rangka implementasi strategi Negara 2022–2026,” terang Yusrizal.
Lebih jauh, ia menyebut Aceh mengalami peristiwa konflik (bersenjata) dan kekerasan sosial yang cukup panjang, Aceh memiliki kerentanan. Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh terus terjadi dalam dimensi berbeda, modus makin beragam dan meningkat pada saat pandemi.
Tingginya Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Aceh Utara
Yusrizal mengutip data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, dimana tercatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak per Juli 2022 mencapai 602 kasus, tahun 2021 mencapai 924 kasus dan tahun 2020 sebanyak 905 kasus.
Kota Banda Aceh menjadi kota dengan jumlah kasus tertinggi mencapai 64 kasus, dan Kabupaten dengan angka kasus kekerasan terendah adalah Aceh Jaya dengan jumlah 0 kasus. Sementara pada tahun 2023, tercatat ada 464 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP), dan ada 634 Kekerasan Terhadap Anak (KTA).
Lanjutnya, Aceh menerapkan syariat Islam melalui kerangka hukum dan berbagai upaya terkait perlindungan perempuan dan anak, namun dalam proses implementasinya menghadapi berbagai kendala, diantaranya akibat terbatasnya sumber daya untuk program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
“Kurangnya tenaga profesional yang terlatih untuk menangani kasus-kasus kekerasan, lemahnya kesadaran hukum, keterbatasan pada akses layanan perlindungan bagi korban, serta kepercayaan dan sikap yang menormalkan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ungkap Yusrizal.
Angka kekerasan di Aceh dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan, yaitu tahun 2021 sebanyak 924 kasus, tahun 2022 sebanyak 1.029 kasus, sedangkan tahun 2023 yang dilaporkan mencapai 1.036 kasus.
Jumlah kasus kekerasan tertinggi terhadap perempuan per Januari sampai dengan Juli 2024 secara berurutan paling tinggi di Kabupaten Aceh Utara sebanyak 90 kasus, Kota Banda Aceh 68 kasus, Kabupaten Bireuen 59 kasus, Kota Lhokseumawe 21 kasus. Sementara itu jumlah kasus di Aceh Barat mencapai 18 kasus dan Aceh Besar sebanyak 7 kasus.
“Rendahnya jumlah kasus terlapor disebabkan informasi tentang layanan tidak menjangkau sampai tingkat desa sehingga korban tidak tidak mendapat informasi untuk menyampaikan laporan ketika terjadi kekerasan,” beber Yusrizal.
“Data tersebut menunjukkan sejumlah upaya belum optimal meminimalkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain faktor sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak dibutuhkan kebijakan yang holistik dan komprehensif serta harus dilakukan secara sejak dari hulu hingga ke hilir,” jelasnya.
Perkawinan Anak di Aceh Utara
Sementara itu, perkawinan anak dan pernikahan usia di bawah 19 Tahun sebagai salah satu masalah Perlindungan Anak dan bentuk lain dari Kekerasan Berbasis Gender juga terjadi dengan berbagai dampak merugikan, diantaranya: masalah psikis, gangguan kesehatan dan reproduksi, persoalan gizi, kematian ibu dan anak, putus sekolah, susah mendapat pekerjaan karena tidak memiliki ijazah serta pengalaman dan jaringan, masalah ekonomi, beban ganda, menjadi korban bully, mendapat stigma, perceraian, disharmonisasi keluarga, tidak mendapat perlindungan keluarga, anak mengalami masalah gizi (stunting), pola asuh anak yang salah, penelantaran anak, serta menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Yusrizal mengutip data BPS Provinsi Aceh pada tahun 2023 menemukan 10 dari 23 kabupaten di Aceh yang mencatat lebih dari 200 perkawinan anak. 5 Kabupaten/kota dengan angka perkawinan anak tertinggi adalah Subulussalam (248 kasus), Kabupaten Aceh Utara (231 kasus), Kabupaten Aceh Timur (228 kasus), Kabupaten Aceh Barat (221 kasus) dan Kabupaten Gayo Lues (218 kasus).
“Hanya tiga kota di mana angka perkawinan anak tercatat di bawah seratus kasus. Tren kenaikan tersebut berbanding terbalik dengan situasi provinsi lain menunjukkan tren menurun,” katanya.
Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat jumlah dispensasi kawin yang diajukan ke lembaga tersebut mencapai 2.784 perkara selama lima tahun terakhir. Rinciannya sebanyak 75 perkara pada tahun 2018, 198 perkara pada tahun 2019, 879 perkara pada tahun 2020, 882 perkara pada tahun 2021, dan 750 perkara pada tahun 2022.
Adapun permohonan terbanyak dalam tiga tahun belakangan diajukan dari Mahkamah Syar’iyah Sigli (Pidie) sebanyak 135 perkara pada tahun 2020, 132 perkara pada tahun 2021, dan 84 perkara pada tahun 2022. Disusul Mahkamah Syar”iyah Takengon (Aceh Tengah), yaitu 127 perkara pada tahun 2020, 111 perkara pada tahun 2021, dan 124 perkara pada tahun 2022; serta Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon (Aceh Utara) sebanyak 88 perkara pada tahun 2020, 121 perkara pada tahun 2021, dan 108 perkara pada tahun 2022.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara melalui kemitraan dengan Islamic Relief, DPPPA Aceh, Flower Aceh (Program Emancipatory Mobilization through Participation, Ownership, Women’s Engagement and Resilience/EMPOWER), Permampu-INKLUSI, UNICEF, Baitul Mal Aceh Utara, P2TP2A Aceh, YouthID, Forum CSR Aceh Utara, BSI branch Aceh Utara, KPI, PMI, Forum PRB, dan mitra pembangunan lainnya kemudian menggelar Sosialisasi Kampanye Pemenuhan Hak Perempuan dan Perlindungan Anak melalui Perayaan Hari Santri dan Hari Perempuan Pedesaan Tahun 2024.
Kegiatan ini menjadi bagian strategi penguatan kapasitas dan penyadaran publik dari rangkaian Project EMPOWER Islamic Relief Indonesia yang melibatkan multi-pihak strategis di Aceh.
“Pertama, kampanye publik bertujuan memberikan penyadaran tentang pemahaman hak perempuan dan perlindungan anak serta upaya pencegahan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, kekerasan seksual, termasuk perkawinan anak dan usia di bawah 19 tahun di Aceh Utara. Kedua, memperkuat dukungan pemangku kebijakan dan kepentingan di level pemerintah serta publik dan masyarakat dalam upaya memenuhi hak dan melindungi perempuan dan anak, dan ketiga menyediakan ruang ekspresi dan kreativitas anak,” jelasnya.
Kegiatan diawali dengan para peserta dimintakan untuk menuliskan harapan untuk perempuan dan anak pada pohon harapan yang disediakan panitia, dilanjutkan dialog warga perwakilan perempuan akar rumput dan kelompok anak dengan pengambil kebijakan di Aceh Utara yang dipandu moderator Inong Sofiarini dari Bappeda Aceh Utara.
Acara diakhiri dengan deklarasi komitmen bersama untuk pemenuhan hak dan perlindungan perempuan dan anak di Aceh Utara. []