“Buatkan kapal dari batu, kalau gagal taruhannya kepala,” titah Raja.
Kali ini Abu Nawas benar-benar kehabisan akal, mana ada batu sebesar itu yang bisa dipahat jadi kapal, pikirnya bingung.
Di rumah, Abu Nawas pucat pasi, setelah bermusyawarah dengan istrinya perihal umurnya yang mungkin tidak lama lagi karena tak mampu menjawab soalan Raja.
Sang istri tetiba memberi saran, “Tenang, jumpai Raja dan mintalah bekal untuk 3 bulan, menginaplah di tengah gunung. Kali ini serahkan padaku,” kata istrinya.
Selepas 3 bulan, Abu Nawas pulang, dilihat istrinya santai saja, ia makin bingung. Dielus-elus kepalanya, “ka abeh sang kali nyoe” (tampaknya sudah habis kali ini), ia membatin.
“Tenang,” kata istrinya. “Sampaikan pada Raja bahwa Kapal Batu pesanannya telah siap. Untuk membawa kapal turun, Raja harus menyiapkan “Taloe Anoe Teurheut” (tali rajut dari pasir), kalau tidak, kapalnya tidak bisa diturunkan,” ujar istrinya.
Lalu Abu Nawas menghadap Raja di istananya untuk menyampaikan jawaban atas permintaan Raja.
Raja yang mendengar dalil balasan dari Abu Nawas terkekeh, tersenyum puas. Gak ada habisnya akal Abu Nawas, pikir Raja.
Abu Nawas pun pulang dengan sumringah.
“Dalam hidup kita tidak boleh meremehkan siapapun, harus kedepankan musyawarah walau itu dengan orang yang di bawah kita,” Abu Nawas membatin senang.
*Penulis adalah pemerhati sosial, berdomisili di Lhoksukon, Aceh Utara.
*Teungku Lamno atau Teungku Ismail Paya Bakong merupakan Alumni Dayah Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI), Lamno, Kabupaten Aceh Jaya.